Selasa, 25 Agustus 2009

Kondisi Pendidikan Nasional

Harian The Times, Inggris, edisi 21 Oktober 2005 menerbitkan Times Higher Education Supplement (THES) mengenai hasil survey atas 2375 perguruan tinggi (PT) dari seluruh dunia yang memenuhi kualifikasi sebagai World’s top 200 universities. Harian tersebut mencatat 54 perguruan tinggi elit dunia berada di Amerika Serikat, 51 di Eropah, 24 di Inggeris, 24 di Asia, 17 di Australia dan 30 lainnya tersebar di Amerika Latin dan negara-negara Eropah Timur. Dari kawasan Asean hanya Singapura mampu menembus jajaran PT elit kelas dunia, dan dari Indonesia belum ada perguruan tinggi yang berhasil. Tahun ini untuk pertama kali Universitas Gadjah Mada berhasil masuk dalam World’s top 100 arts and humanities universities, bersama 17 PT lain dari berbagai bagian dunia. Agar masuk dalam 200 PT Dunia, sebuah PT harus mampu mencapai prestasi minimal dalam 3 kelompok ilmu. Mutu akademik PT kita rendah sehingga tidak mampu meraih prestasi tingkat dunia karena Pemerintah dan masyarakat belum memandang pendidikan sebagai bidang strategik yang mendapatkan prioritas tinggi dan pembiayaan yang mencukupi untuk mencapai standar mutu yang diperlukan. Pengeluaran nasional untuk pendidikan tinggi jauh dibawah standar pembiayaan negara tetangga yang telah membelanjakan kira-kira 3-4 persen dari PDB untuk pendidikan tinggi. PT yang mencapai prestasi dunia adalah PT yang memiliki mutu dan kinerja staf yang tinggi, prestasi dalam bidang penelitian, tersedianya fasilitas pendukung, serta manajemen yang baik. Semua itu tidak mungkin dicapai tanpa dukungan pembiayaan yang memadai. Dukungan pembiayaan pada beberapa PT yang memiliki standar mutu dan relevansi keilmuan tingkat dunia memang memperoleh dukungan anggaran tahunan yang memadai, yang berkisar antara Rp 7 trilyun seperti Universitas Nasional Singapura sampai Rp 21-22 trlyun seperti Universitas Tokyo dan Universitas Harvard. Kalau diterjemahkan dalam biaya pendidikan per mahasiswa per tahun, di Universitas Nasional Singapura tersedia Rp 207 juta per mahasiswa per tahun, di Universitas Harvard Rp 570 juta, dan di Universitas Tokyo Rp 790 juta. Setelah disesuaikan dengan nilai riil rupiah, biaya pendidikan per mahasiswa adalah Rp 138 juta di NUS, Rp 190 di Harvard, dan Rp 197,5 juta di Universitas Tokyo. Pada semua universitas tersebut biaya yang ditanggung oleh mahasiswa dalam bentuk SPP serta pungutan lainnya berkisar antara 15 sampai 25 persen dari biaya pendidikan total. Sisanya didapatkan universitas dari subsidi pemerintah, kontrak penelitian dan dari berbagai kegiatan usaha.
Sebagai ilustrasi, untuk mencapai standar mutu pendidikan tinggi yang mampu menghasilkan tenaga kerja terdidik untuk kebutuhan nasional, UGM dengan 55.000 mahasiswa, perlu dukungan dana sebesar Rp 995 milyar per tahun. Untuk mencapai standar mutu yang mampu menghasilkan lulusan yang dapat bersaing pada tingkat Asia perlu dukungan dana sekitar Rp 3,5 trilun per tahun, Untuk mencapai standar mutu perguruan tinggi agar mampu menghasilkan lulusan dan teknologi yang dapat bersaing pada tingkat dunia kira-kira diperlukan dukungan dana sebesar Rp 7,6 trilyun per tahun.
Biaya Pendidikan Tinggi
Menurut kajian Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi biaya satuan pendidikan tinggi nasional adalah Rp 18,1 juta per mahasiswa per tahun, yang diperlukan untuk mencapai standar mutu perguruan tinggi nasional. Dengan jumlah mahasiswa sebesar 4 juta orang, yang katakan terbagi sama antara yang menuntut ilmu sosial, ilmu budaya dan humaniora, dengan sains, teknik dan ilmu kesehatan, serta biaya satuan bervariasi antara kedua kelompok tersebut, total anggaran yang harus tersedia untuk menyelenggarakan perguruan tinggi yang memenuhi standar mutu nasional diperkirakan sebesar Rp 72,4 trilyun. Tetapi kenyataannya dana yang tersedia untuk pendidikan tinggi masih jauh di bawah standar nasional tersebut. Anggaran yang disediakan oleh pemerintah pada tahun anggaran 2006 kira-kira hanya sekitar Rp. 9 sampai 10 triyun. Jadi, untuk mencapai standar mutu perguruan tinggi nasional masih diperlukan dana sebesar Rp. 63,4 trilyun yang harus diusahakan dari sumber-sumber pemerintah dan non pemerintah.
Dana yang diperlukan untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi memang tidak perlu seluruhnya disediakan oleh pemerintah melalui APBN. Sesuai ketentuan UU No. 20 tahun 1999 Pasal 46 ayat (1) “pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat”. Sebaliknya, partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pendidikan tinggi tidak perlu seluruhnya dibebankan pada biaya yang dikenakan kepada publik. Menurut pengamatan yang dilakukan oleh Prof. Querrin (?) pada lebih 100 PT diberbagai pelosok dunia, komposisi penerimaan perguruan tinggi yang ideal adalah sebagai berikut: (a) 30 persen dari subsidi pemerintah, (b) 30 persen dari uang kuliah; (c) 20 persen sumbangan masyarakat, dan (d) 20 persen dari hasil kontrak penelitian dan kegiatan usaha.
Seperti sudah diuraikan sebelumnya, untuk mencapai standar mutu nasional pendidikan tinggi diperlukan biaya kira-kira Rp 54,3 trilyun untuk 4 juta mahasiswa, dengan estimasi biaya penbdidikan rata-rata Rp 18,1 juta per mahasiswa per tahun. Kalau digunakan skema pembiayaan dengan pola biaya pendidikan berkeadilan, dengan cara 25 persen mahasiswa mendapat subsidi sebesar 90 persen, separo mahasiswa terdaftar mendapat subsidi 50 persen, dan sisanya membayar penuh biaya pendidikannya, diperkirakan potensi partisipasi masyarakat dalam penyediaan biaya pendidikan tinggi adalah Rp 38-40 trilyun. Karena kondisi keuangan Pemerintah yang masih lemah, pada masa lima tahun mendatang alokasi APBN untuk pendidikan tinggi mungkin hanya sekitar Rp 9-10 trilyun. Dari mana lembaga penyelenggara pendidikan tinggi mendapatkan kekurangan dana sebesar Rp 22,4 trilyun?
Di banyak negara, sumbangan masyarakat, baik oleh individu mau pun perusahaan, merupakan salah satu tulang punggung pembiayaan pendidikan tinggi. Untuk mendorong masyarakat agar mau memberikan sumbangan kepada lembaga pendidikan tinggi dan lembaga penelitian, Pemerintah memberikan berbagai fasilitas pajak antara lain: (a) pemotongan pajak (tax deductibles) kepada perorangan dan perusahaan; (b) land grants kepada perguruan tinggi; (c) pembebasan pajak tanah dan bangunan; (c) pembebasan pajak badan usaha; dan (d) pembebasan pajak buku, bahan dan peralatan untuk kepentingan pendidikan.
Potensi fasilitas pajak untuk pengembangan PT
1. Total pengeluaraan nasional untuk pendidikan tinggi atas dasar rerata BSPT Nasional sebesar Rp. 18,1 jt per mhs per th utk 4 jt mahasiswa, totalnya Rp. 72,4 trilyun2. Partisipasi pembiayaan oleh masyarakat totalnya Rp. 40,0 trilyun3. APBN sub-sektor pendidikan tinggi, totalnya Rp. 10,0 trilyun4. Potensi fasilitas pajak?, Totalnya Rp, Rp. 22,4 trilyun
a. Potongan penerimaan (UU PPh Ps. 6) b. Pembebasan pajak impor (SK Menkeu) c. Insentif pajak ( UU PPh Ps 4) d. Retribusi Pendidikan e. Pembebasan pajak badan usaha f. Pembebasan PBB

Seperti halnya pemerintah di negara-negara maju, Pemerintah Indonesia perlu menunjukkan komitmen yang tinggi pada pendidikan, khususnya pendidikan tinggi, dengan menggunakan instrumen pajak. Inisiatif DPR-RI untuk mengajukan usul perubahan RUU Pajak seharusnya dijadikan momentum untuk membuktikan keberfihakan tersebut. Tabel di atas menujukkan potensi fasilitas pajak sebagai sumber untuk pembiayaan pendidikan tinggi khususnya dan pendidikan pada umumnya. Belajar dari pengalaman negara maju, fasilitas pajak yang digunakan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam pembangunan pendidikan adalah:
1. Potongan penerimaan (tax deductibles), memperhitungkan sumbangan dan hibah yang diberikan perorangan dan perusahaan untuk lembaga pendidikan tinggi sebagai pengeluaran yang berhak dipotong dalam perhitungan pendapatan sebelum pajak (UU PPh, Ps. 6).
2. Pembebasan pajak (tax exemptions), atas pembelian dan impor alat, bahan dan buku untuk pendidikan.
3. Insentif pajak (tax incentives) berupa pembebasan atau pengurangan pajak untuk perusahaan yang mendirikan lembaga pendidikan yang sesuai dengan rencana dan arahan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Misalnya, pembebasan atau pengurangan pajak untuk perusahaan yang melakukan investasi untuk pendirian politeknik atau lembaga pendidikan sejenis. Dalam kategori ini juga masuk pembebasan pajak atas hibah, beasiswa dan sumbangan yang diterima lembaga penyelenggaran pendidikan tinggi dari perorangan dan perusahaan dalam dan luar negeri.
4. Retribusi dan hibah pendidikan (Levy and grant), retribusi yang ditarik pemerintah dan pemerintah daerah atas penerimaan perusahaan pengolah sumber daya tak terbarukan untuk digunakan sepenuhnya bagi pendidikan atau pelatihan sebagai sumber daya terbarukan. Beberapa Negara maju juga mengenakan retribusi pendidikan atas bangunan yang digunakan sepenuhnya oleh pemerintah untuk membiayai pendidikan.
5. Pembebasan pajak badan dan PBB bagi yayasan, badan, persekutuan dan badan hukum pendidikan. UU Perpajakan yang Berorientasi Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pada saat ini DPR-RI sedang membahas RUU Perpajakan yang diajukan oleh Pemerintah yaitu RUU Ketentuan Umum tentang Tatacara Perpajakan (KUP), RUU Pajak Penghasilan, dan RUU Pajak Pertambahan Nilai. Momen ini adalah saat yang paling tepat bagi DPR-RI untuk mengadakan perubahan orientasi kebijakan perpajakan nasional yanbg cukup mendasar, dari fungsi pajak sebagai sumber utama pendapatan Pemerintah menjadi fungsi pajak sebagai pendorong inisiatif masyarakat dalam berbagai bidang pelayanan publik. Perubahan orientasi kebijakan perpajakan perlu dilakukan untuk mendorong inisitiatif dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan negara serta agar terjadi pergeseran peranan pemerintah dari implementor menjadi fasilitator pembangunan.
Pergeseran paradigma pendidikan nasional sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 20 tahun 1999 tentang Sistem Pendidikan Nasional memerlukan dukungan kebijakan perpajakan yang beorientasi pembangunan sumber daya manusia. Forum Rektor Indonesia (FRI) mengharapkan DPR-RI, khususnya Komisi XI dan Pansus RUU Perpajakan berkenan menjadikan pajak sebagai instrumen kebijakan yang paling potensial untuk mendorong partisipasi masyarakat, individu maupun perusahaan, dalam pembangunan dan pengembangan layanan pendidikan.
Banyak negara maju menerapkan retribusi dan hibah pendidikan atas perusahaan eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan (pertambangan, hutan dan kekayaan maritim), perusahaan telekomunikasi, perusahaan keuangan, dan perusahaan transportasi untuk ikut membiaya pendidikan. Beberapa UU Indonesia, antara lain UU Pertambangan, UU Perekebunan dan UU Kehutanan, sudah menerapkan skema retribusi dan hibah pendidikan dan pelatihan. Tetapi implementasi dari skema tersebut masih belum efektif dan retribusi diperlakukan sebagai PNBP yang tidak langsung digunakan untuk pendidikan.

Tulisan di atas merupakan usulan yang disampaikan FRI mengenai perbaikan RUU Perpajakan kepada Komisi XI DPR-RI Mohon saran dan komentar dari rekan-rekan semuanya untuk penyempurnaan usulan tsb.
http://www.forum-rektor.org/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar